Fenomena Dugem (Clubbing) Pada Kalangan Remaja dan Kaitanya dengan Konsumerisme

Estimated read time 7 min read

Cepatnya globalisasi dan perkembangan teknologi menimbulkan perubahan di segala bidang seperti mode, gaya hidup, dan informasi. Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, serta munculnya media massa seperti tv, Instagram, Facebook, Twitter, dan Youtube, pada akhirnya akan merubah gaya hidup serta bergesernya norma dan nilai yang dianut masyarakat

Gaya hidup sengaja ditawarkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan (produsen) sebagai strategi pemasaran. Gaya hidup tersebut disebarkan melalui media sosial atau film-film yang berorientasi pada kesenangan pribadi. Salah satu gaya hidup tersebut adalah Clubbing atau dugem.

Clubbing atau dugem adalah sebuah istilah khas anak muda yang berarti suatu dunia malam yang bernuansa kebebasan, ekspresif, modern, teknologis, hedonis, kunsumeristik, metropolis yang menjanjikan segala bentuk bentuk kegembiraan sesaat (Perdana, 2014). Jiwa anak remaja yang ingin tahu dan sedang mencari jati, membuatnya lebih mudah terperosok pada arus globalisasi yang cenderung tidak bermanfaat.

Clubbing saat ini seakan sudah mendarah daging pada kehidupan masyarakat, terutama remaja-remaja kota. Tak hanya menjadi gaya hidup, tapi juga menjadi wahana bisnis bagi orang-orang tertentu. Para pebisnis diskotik sangat pintar dalam menarik pelanggan dengan fasilitas-fasilitas dan kesenangan yang ditawarkan. Dugem sebenarnya rentan akan seks bebas, narkoba, minuman beralkohol dan lain-lain yang sebenarnya memiliki akibat buruk bagi pelaku.

Dengan demikian, ada pihak berkuasa yang sengaja menghegemoni pihak-pihak tertentu demi kepentingannya. Apa itu Clubbing?  faktor-faktor apa yang melatar belakangi berkembangnya? Dan siapa yang menghegemoni dan terhegemoni?

Kata ‘dugem’ sendiri merupakan kependekan dari ‘dunia gemerlap’. sedangkan dalam bahasa Inggris, dugem memiliki nama Clubbing. Dugem atau Clubbing adalah kegiatan mengunjungi dan berkumpul di klub malam, diskotik. Kultur dugem/clubbing lahir pada akhir dekade 80-an di Eropa. Kemajuan dalam teknologi suara sintetis dan narkoba melahirkan music techno/house dan budaya ekstasi. Klub-klub di Ibiza, Italia, dan London menjadi surga berdenyut musik elektronika. Pada dekade 80-an muncul pergolakan baru dikalangan anak muda. Pesta dansa ilegal merebak, baru pada tahun 90-an scene ini mulai keluar dari bawah tanah.

Di kota-kota besar budaya dugem (Clubbing) bukanlah hal yang yang asing, bahkan telah menjadi gaya hidup. Dugem merupakan prokem khas anak muda yang berarti suatu dunia malam yang bernuansa kebebasan, ekspresif, modern teknologis, hedonis, konsumeristik, dan metropolis yang menjanjikan kebahagian sesaat. Pesta musik dan gemerlap lampu seakan menjadi pembungkus dari semua aktivitas yang ada didalam Club. Selain narkoba, dugem juga menjadi ajang pesta minuman keras dan seks bebas para remaja dengan kedok mencari jati diri dan ingin mencoba hal baru.

Clubbing atau dugem adalah bagian dari globalisasi yang menggeser nilai-nilai bangsa. Dugem yang identik dengan euforia kehidupan malam tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain sehingga cenderung berkonotasi negatif. Konotasi negatif ini tidak hanya semena-mena diberikan, tapi juga melihat dari dampak negatif yang diterima pada diri seseorang baik dari psikologi maupun maupun kesehatan.

Selain dampak yang ditimbulkan, dugem juga merubah remaja menjadi seseorang yang konsumeris dan suka berfoya-foya. Konsumeris dan suka berfoya-foya terlihat saat mereka dugem dan akhirnya minum-minuman keras, merokok, bahkan memakai narkoba yang harganya mahal tapi tidak ada manfaatnya. Selain itu juga terlihat dari gaya hidup mereka yang menyukai hal-hal yang mewah, seperti pakaian, kendaraan, dan lain-lain. Itu semua dilakukan oleh remaja untiuk mengikuti tren sebagai cara untuk mendapat pengakuan.

Konsumerisme dalam Clubbing

Konsumerisme akut mulai dirasakan eksistensinya sebagai realitas sosial di negeri ini ketika menjamurnya globalisasi dan perkembangan teknologi di bidang informasi. Gaya hidup hedonisme mulai menjadi lifestyle dikalangan remaja. Salah satu contoh gaya hidup konsumerisme dan hedonisme yaitu dugem (clubbing). Orientasi konsumsi masyarakat Indonesia perlahan terus mengalami pergeseran makna, dari semula bertujuan untuk bertahan hidup (survive) dan memenuhi kebutuhan hidup (needs), menuju ke arah pemuasan hasrat (desire) dan gaya hidup (lifestyle).

Dari data, faktor-faktor yang mempengaruhi para remaja dugem yaitu karena rasa penasaran, agar dianggap gaul serta funcy, dan mereka merasa bebas dan senang saat dugem. Dari hal tersebut, terlihat bahwa remaja memang didorong oleh hasrat untuk memperoleh penghormatan, status. Dan prestise dengan dianggap sebagai orang yang gaul dan funcy. Mereka berfokus pada hasrat-hasrat tersebut tanpa memperhatikan dampak-dampak yang akan mereka peroleh.

Dalam Kacamata Baudrillard, pada era postmodern masyarakat konsumen semakin tunduk dengan pencitraan. Industri hiburan malam berhasil memancing individu untuk tidak berhenti mencari kesenangan melalui dugem sehingga komoditas yang dikonsumsi masyarakat bukanlah zat dan esensinya, tetapi hanya permukaannya. Mereka menawarkan dugem melalui media sosial serta film-film yang memperlihatkan begitu menarik dan menyenangkannya dugem. Dari iklan inilah muncul pihak yang menghegemoni dan terhegemoni. Pihak yang menghegemoni adalah kaum-kaum kapitalis yang menyumbangkan modalnya. Sedangkan yang terhegemoni adalah masyarakat, terutama para remaja yang rentan akan hasutan.

Pada penikmat dugem, mereka menilai dugem sebagai hiburan yang memiliki nilai status yang eksklusif dan kebebasan (nilai-tanda) daripada sekedar dangdutan atau wayangan tanpa ada kebebasan seperti di club malam, sehingga ia merealisasikan tindakannya dengan dugem meskipun membutuhkan dana yang banyak (nilai-tukar). Dalam hal ini, kapitalisme berhasil dalam upayanya untuk memaksakan tatanan budaya yang sesuai dengan tuntutan produksi komoditas skala besar.

Dampak Negatif Fenomena Dugem

Dugem atau clubbing juga membawa dampak-dampak yang cenderung negatif pada seseorang. Dampak tersebut dapat berpengaruh pada psikologi, dan kesehatan.

  • Dampak dugem pada aspek psikologi

 Orang yang suka dugem biasanya bersikap malas. Rasa ngantuk dan lelah menjadi penyebab seseorang malas melakukan kegiatan di siang hari. Selain malas, dugem juga membuat seseorang suka berfoya-foya. Hal tersebut disebabkan oleh rasa candu ke tempat clubbing yang akan mernguras uang. Belum lagi fashion untuk dugem yang cenderung branded mahal karena faktor gengsi.

  • Dampak dugem pada aspek kesehatan

Dugem berpengaruh pada kesehatan sebenarnya bukan karena musik atau tempatnya, tetapi pada kegiatan yang dilakukan didalamnya. Di dalam club, orang-orang bebas melakukan apapun. Akibatnya banyak pengunjung club yang merokok  sehingga didalam ruangan penuh dengan asap rokok yang berbahaya bagi kesehatan. Seperti yang kita ketahui bahwa asap rokok mengandung ribuan bahan kimia diantaranya banyak zat beracun dan bersifat karsinogenik yang bisa tinggal di suatu permukaan. Bila terpapar dengan waktu yang lama, dapat menyebabkan kanker, asma, masalah paru-paru, dan infeksi tenggorokan. Lalu alkohol yang disediakan oleh pihak club juga berbahaya bagi tubuh terutama pada sistem pencernaan dan sistem saraf pusat. Didalam club terkadang juga ada beberapa orang yang menawarkan narkoba yang dapat mengganggu kerja saraf pusat seperti halusinasi, depresan, kecanduan, pendarahan otak, dan skizofernia. Dugem juga riskan dengan seks bebas. Seks bebas jika tidak menggunakan pengaman juga beresiko menyebarkan penyakit kelamin seperti HIV, AIDS, Sifilis, dan Raja Singa.

Kesimpulan

Baudrillard menilai bahwa konsumsi juga ditentukan oleh seperangkat hasrat untuk memperoleh penghormatan, status, prestise, dan kontruksi identitas melalui suatu “mekanisme penandaan”. selain itu ada dua nilai objek yaitu nilai-tanda dan nilai-tukar.

Konsumerisme akut mulai dirasakan eksistensinya sebagai realitas sosial di negeri ini ketika menjamurnya globalisasi dan perkembangan teknologi di bidang informasi. faktor-faktor yang mempengaruhi para remaja dugem yaitu karena rasa penasaran, agar dianggap gaul serta funcy, dan mereka merasa bebas dan senang saat dugem. Kesenangan yang diperoleh tersebut karena hal-hal yang tak bisa mereka rasakan dilingkungan masyarakat, keluarga, dan sekolah. Bentuk kesenangan tersebut seperti mabuk-mabukan, seks bebas, dan narkoba.

Ada unsur hegemoni dalam fenomena dugem ini, pihak yang menghegemoni adalah kaum kapitalis seperti pengusaha minuman keras, sound system dan gembong narkoba. Sedangkan kaum yang terhegemoni adalah masyarakat terutama anak muda

Referensi:

Alwi, Nirzalin, Indra. 2019. Konsumerisme Dalam Perspektif Jean Baudrillard. Volume 13, Nomor 2. Jurnal Soisologi USK.

Hanggoro, Hendaru Tri. 2018. Sejarah Musik Dugem. https://historia.id/kultur/articles/sejarah-musik-dugem-DEezX/page/1  diakses pada 18 Juni 2022 pukul 10.00.

Maulidya, Erine Nur. 2015. Dampak Fenomena Clubbing di tinjau dari Dimensi Agama dan Masyarakat. Visual post: neliti.

Sari, Citri. 2010. HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP GAYA HIDUP CLUBBING DENGAN RELIGIUSITAS PADA REMAJA DI SMA NEGERI 5 SURAKARTA.

Utami, Syifa Waras. Pengaruh Clubbing Terhadap Psikologi dan Kesehatan. Diakses dari http://pengetahuankesmas.blogspot.com/2015/10/pengaruh-clubbing-terhadap-psikologi.html . Pada 18 Juni 2022, pukul 12.00.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours