KKN: Proker nomor dua, yang penting Bermasyarakat!
Kuliah Kerja Nyata (KKN) masih menjadi program yang wajib diikuti seluruh mahasiswa di salah satu kampus swasta yang berlokasi di Gejayan ini. Program KKN menjadi salah satu syarat untuk lulus dari kampus ini dengan bobot 3 SKS. Program KKN diperuntukkan bagi mahasiswa semester 5 ke atas.
Sebelum menginjak semester 8 saya harus dihadapkan dengan KKN guna melengkapi syarat kelulusan. Saya sengaja mengambil KKN pada semester 7 karena satu dua hal yang tak bisa saya sebutkan di sini.
Karena saya mengambilnya pada semester 7, saya harus mengikuti program tersebut pada Januari ini. Singkat cerita, saya mendapat tempat KKN di salah satu desa di Gunung Kidul. Letaknya kurang lebih 15 menit dari Pantai Wediombo dan mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani.
Sebelum penerjunan ke lokasi KKN, kelompok kami baru sekali melakukan observasi karena keterbatasan waktu. Meskipun kami berhasil menggali informasi dari Bu Dukuh, hal itu tidaklah cukup memberi gambaran bagi kami untuk menyusun program kerja (proker) yang akan dilaksanakan saat KKN nanti.
Masalah terjadi pada kami yang masih bingung kala itu dengan kehadiran Asisten Pendamping Lapangan (APL) yang selalu menagih proker kelompok kami. Bukannya membantu menemukan solusi, belio ini justru membuat suasana makin pelik di sela-sela masa Ujian Akhir Semester (UAS).
Bukannya saya malas untuk memikirkan proker yang akan dikerjakan. Namun, dalam perenungan saya justru terlintas sebuah pertanyaan yang mengusik hati nurani saya. Sebenarnya apa esensi dari KKN itu sendiri?
Bermasyarakat dulu, baru proker!
Pertama, yang ingin saya garis bawahi di sini adalah KKN tidaklah melulu soal proker. Lebih dari itu, melalui KKN mahasiswa diajak untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Dari sini, mahasiswa belajar bagaimana menghadapi dan menyikapi masyarakat yang plural dengan keunikannya masing-masing.
Cara mahasiswa bersikap dan merespons kondisi sekitar akan menjadi penilaian tersendiri bagi masyarakat. Semakin baik sikap yang ditunjukkan, maka masyarakat juga akan terbuka dan menerima kehadiran mereka untuk menjadi bagian dalam masyarakat.
Kedua, menyusun proker tidak bisa dilakukan asal-asalan. Proker diharapkan bisa menjawab setiap persoalan yang ada dalam masyarakat, terutama kebutuhan yang mereka perlukan saat ini. Karena itu, pembuatan proker dengan berbekal observasi yang dilakukan jauh-jauh hari sebelum KKN berlangsung tidaklah relevan.
Situasi dan kondisi di lapangan saat KKN berlangsung bisa jadi berbeda dengan keadaan ketika observasi. Misalnya ketika kami melakukan observasi bulan kemarin, cuaca sekitar sangat panas. Kondisi yang sama juga kami dapatkan ketika mengunjungi lokasi tersebut satu hari sebelum penerjunan KKN. Namun, di luar dugaan seminggu belakangan ini justru hampir setiap hari lokasi KKN kami diguyur hujan.
Saya tahu proker yang saya siapkan jauh-jauh hari akan mubazir. Saya pun baru memahami persoalan masyarakat di sini setelah satu minggu bersosialisasi dengan mereka. Dengan bermodal sebungkus rokok lalu pergi ke pos ronda, saya menjadi semakin mengerti bagaimana pola pikir dan kebiasaan masyarakat di sini.
Justru di sinilah penyusunan proker dapat dilakukan karena data dan fakta didapatkan dengan akurat. Bukan sekadar penarikan kesimpulan yang terlalu dini dan terkesan hanya kejar target. Karena itu, cara bersosialisasi dengan masyarakat menjadi penentu untuk proker yang akan dijalankan.
Maka sesuai judul saya di atas, bermasyarakat merupakan hal fundamental dalam KKN. Pada akhirnya proker yang telah disusun dengan matang tidak akan berhasil jika kita tidak bisa bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Masyarakat hanya akan menganggap kita sebagai isapan jempol belaka atau wisatawan yang sekadar berswafoto lalu pulang begitu saja.
Proudly powered by WordPress
+ There are no comments
Add yours